Tribun Tren – Sidang lanjutan kasus sengketa tambang nikel yang melibatkan PT Waha Karya Mineral (WKM) dan PT Position kembali digelar. Sidang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, 1 Oktober 2025. Kasus ini sejak awal menyedot perhatian publik karena menyangkut persoalan pertambangan sekaligus dugaan perambahan hutan di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi Plaghelmo Seran, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah XVI Ambon. Namun, kesaksiannya justru menuai kritik tajam dari pihak kuasa hukum PT WKM yang menilai pernyataan saksi tidak konsisten dan tidak memiliki dasar kuat.
Inkonsistensi Keterangan Saksi
Kuasa hukum PT WKM, Rolas Sitinjak, menilai saksi kerap memberikan jawaban berbeda-beda, bahkan tidak memahami fakta dasar terkait lokasi serta aktivitas tambang nikel di lapangan. Majelis hakim pun sempat menegur karena saksi terlihat ragu dan tidak mampu memberikan jawaban tegas.
Saat ditanya hakim apakah pernah melihat langsung tempat kejadian perkara, saksi dengan jujur menjawab belum pernah. Jawaban ini membuat keterangan yang ia sampaikan diragukan validitasnya, sebab tidak berdasarkan pengamatan langsung. Menurut Rolas, hal ini menunjukkan bahwa kesaksian tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan pegangan. Ia menilai, saksi justru membuang waktu persidangan karena banyak hal krusial tidak bisa dijelaskan.

Persoalan Kayu dan Potensi Kerugian Negara
Selain soal konsistensi saksi, persidangan juga menyinggung persoalan hasil hutan kayu yang ditebang sepanjang jalan koridor yang dibuka PT Position menuju lokasi pabrik. Menurut aturan, setiap kayu yang ditebang harus memiliki izin yang jelas dari pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan tercatat dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Namun, saksi tidak bisa memastikan apakah kayu-kayu tersebut sudah memiliki izin dan apakah hasil tebangan sudah disetorkan kepada negara. Rolas menilai hal ini berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. Ia menegaskan, jalan sepanjang 11 kilometer dibuka, tetapi tidak ada kepastian izin maupun pembayaran kayu kepada negara.
Lebih jauh, saksi juga tidak mampu menjelaskan batas kewenangan antara pemegang izin hutan dengan PT Position. Hal ini dianggap memperkuat dugaan adanya perambahan hutan secara ilegal.

Dugaan Perambahan Hutan
Kuasa hukum PT WKM menyoroti lebar jalan yang dibuka mencapai lebih dari 100 meter, padahal aturan hanya memperbolehkan sekitar 40 meter. Rolas merujuk pada hasil temuan tim Penegak Hukum (Gakkum) Kehutanan Seksi II Ambon yang menilai pembukaan jalan itu berpotensi melanggar aturan kehutanan.
“Kalau memang jalan itu dibuka tanpa dasar RKT, maka jelas ada perambahan. Ini salah satu kejahatan kehutanan paling serius setelah korupsi uang negara,” tegas Rolas di hadapan majelis hakim.
Pernyataan ini semakin memperkuat argumentasi pihak PT WKM bahwa aktivitas PT Position di lapangan tidak sesuai prosedur dan harus dipertanggungjawabkan.
Pemasangan Patok Jadi Perkara Sengketa Tambang Nikel
Selain soal dugaan perambahan hutan, perkara ini juga menyeret dua karyawan PT WKM, yakni Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang. Keduanya dituduh melakukan pemasangan patok ilegal di area tambang yang juga diklaim oleh PT Position.
Menurut Rolas, patok tersebut dipasang di dalam wilayah izin usaha pertambangan (IUP) milik PT WKM, bukan di area milik PT Position. Bahkan sebelum pemasangan patok, pihaknya sudah melaporkan dugaan pelanggaran ke Polda Maluku, dan polisi memasang garis polisi di lokasi tersebut.
“Patok dipasang di belakang police line. Jadi seharusnya tidak menghalangi aktivitas PT Position. Kalau ada keberatan, mestinya terhadap police line, bukan terhadap patok,” jelas Rolas.

Tuduhan Kriminalisasi di Sengketa Tambang Nikel
Kasus ini kemudian berlanjut ke ranah hukum setelah PT Position melaporkan Awwab dan Marsel ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pemasangan patok ilegal. Jaksa Penuntut Umum mendakwa keduanya melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, serta sejumlah pasal dalam UU Kehutanan.
Namun, kuasa hukum menilai dakwaan tersebut tidak tepat dan justru menunjukkan adanya upaya kriminalisasi terhadap karyawan PT WKM. Mereka menegaskan bahwa pemasangan patok dilakukan sesuai prosedur dan berada dalam area konsesi tambang PT WKM.
Implikasi Hukum dan Lingkungan
Kasus ini tidak hanya menjadi sengketa antara dua perusahaan, tetapi juga menyangkut kepentingan negara dan lingkungan. Jika benar terjadi perambahan hutan tanpa izin, maka negara bisa kehilangan potensi pendapatan dari hasil kayu. Lebih jauh, kerusakan hutan akibat pembukaan jalan yang melebihi batas juga berdampak pada ekosistem.
Di sisi lain, perkara ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Sengketa hukum semacam ini dikhawatirkan bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola pertambangan dan kehutanan di Indonesia.
Sidang sengketa tambang nikel di Halmahera Timur terus menjadi sorotan, terutama karena banyak fakta yang masih belum terungkap secara jelas. Inkonsistensi saksi, persoalan izin kayu, dugaan perambahan hutan, hingga tuduhan kriminalisasi terhadap karyawan PT WKM membuat perkara ini semakin kompleks.
Ke depan, publik berharap majelis hakim dapat menggali fakta dengan lebih mendalam agar putusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan. Pada akhirnya, perkara ini bukan hanya tentang sengketa perusahaan, tetapi juga tentang kepentingan negara, keberlanjutan lingkungan, dan perlindungan hukum bagi para pekerja.