Tribun Tren – Nama Evan Dimas kembali mencuat setelah ia mengungkapkan kekecewaan terbesarnya baru-baru ini terhadap tim sepakbola Indonesia. Dalam dunia sepakbola Indonesia, Ia pernah menjadi simbol harapan, kapten muda penuh talenta yang membawa semangat baru untuk Timnas Indonesia. Namun kini, suara Evan menggema bukan karena aksi briliannya di lapangan, melainkan karena sebuah keluhan yang menyentil banyak pihak: terlalu banyak pemain asing di liga kita sendiri.
Suara Hati Sang Mantan Kapten
Dalam sebuah pernyataan yang beredar melalui manajernya, Evan menyampaikan rasa prihatinnya terhadap kondisi Liga Indonesia yang, menurutnya, terlalu dibanjiri oleh pemain asing. Bukan karena alergi terhadap kehadiran pemain luar negeri, tetapi karena efek samping yang dirasakan oleh para pemain lokal, khususnya generasi muda yang mulai kesulitan mendapatkan kesempatan bermain.
“Bukan tidak boleh, tapi jangan sampai pemain kita cuma jadi penonton di negeri sendiri,” begitu kira-kira nada yang bisa ditangkap dari unek-unek Evan.

Regulasi yang Terlalu Longgar
Dalam beberapa musim terakhir, jumlah pemain asing yang diizinkan membela klub-klub Liga 1 Indonesia terus bertambah. Klub kini dapat merekrut hingga enam pemain asing, termasuk satu dari negara-negara ASEAN. Secara teori, kehadiran mereka memang bisa meningkatkan kualitas permainan dan daya saing. Namun, di sisi lain, ruang untuk pemain lokal terutama mereka yang sedang berkembang jadi semakin sempit. Posisi-posisi krusial diisi oleh wajah asing, dan pemain muda Indonesia harus bersaing tidak hanya secara teknik, tetapi juga secara kuota.
Benarkah Ini Menghambat Regenerasi?
Bagi sosok seperti Evan Dimas, yang kariernya ditempa dari usia muda melalui jam terbang reguler, hal ini menjadi kekhawatiran nyata. Tanpa kesempatan bermain di level tertinggi, bakat-bakat muda Indonesia terancam tidak berkembang. Mereka bisa saja bagus secara potensi, tapi tanpa menit bermain dan tekanan kompetisi sesungguhnya, perkembangan mereka bisa terhenti di tengah jalan.

Pemain Asing Bukan Musuh
Penting untuk ditegaskan bahwa kekecewaan terbesar Evan Dimas ini tidak sedang menyalahkan pemain asing. Sepak bola modern memang menuntut pertukaran talenta antarnegara, dan pemain asing pun sering menjadi bagian penting dalam memajukan kualitas liga. Tapi yang dikhawatirkan adalah ketidakseimbangan. Jika regulasi lebih mengutamakan hasil instan daripada pembangunan jangka panjang, maka tim nasional kita ke depan hanya akan bergantung pada keberuntungan, bukan sistem yang kuat.
Apa Solusinya?
Daripada menutup pintu untuk pemain asing, solusi yang lebih bijak mungkin adalah membuat regulasi yang menyeimbangkan antara kuota pemain asing dan kewajiban memainkan pemain lokal, terutama pemain U-23. Beberapa negara lain bahkan mewajibkan setiap tim untuk memainkan minimal satu pemain muda selama pertandingan. Selain itu, perlu ada insentif khusus bagi klub yang berani memunculkan bakat lokal ke panggung utama. Sepak bola yang sehat bukan hanya soal kompetisi di papan skor, tetapi juga kompetisi dalam hal pengembangan talenta bangsa.

Akankah Ada Perubahan ke Depannya?
Kritik Evan Dimas bukan sekadar bentuk kekecewaan, tetapi peringatan dini dari seseorang yang pernah ada di garis depan sepak bola nasional. Ketika pemain seperti Evan bicara, itu artinya sudah banyak yang merasakan hal serupa. Pertanyaannya, apakah kita akan mendengar dan berubah? Atau membiarkan lapangan hijau kita terus dikuasai oleh pemain impor, sementara talenta lokal hanya jadi penghangat bangku cadangan?