Tribun Tren – Kabar bahwa negara Indonesia rugi ratusan miliar akibat aksi demo akhir-akhir ini sedang ramai menjadi topik pembicaraan di berbagai media. Sejarah panjang Indonesia mencatat bahwa demonstrasi adalah salah satu sarana utama masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Dari era reformasi hingga masa kini, aksi massa sering kali menjadi penentu arah kebijakan politik.
Namun, tak jarang aksi yang dimulai dengan damai berubah menjadi ricuh. Mobil-mobil dibakar, halte bus hancur, jalan raya rusak, dan gedung publik tak lagi bisa difungsikan. Kerugian pun mencapai ratusan miliar rupiah, uang yang sejatinya berasal dari pajak rakyat. Pertanyaannya, siapa yang paling layak disalahkan ketika fasilitas umum porak-poranda akibat aksi demo?
Antara Hak Konstitusi dan Tanggung Jawab
Tidak bisa dipungkiri, demonstrasi adalah hak yang dijamin konstitusi. Namun, kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk merusak. Ketika massa terprovokasi, batas antara “menyampaikan aspirasi” dan “perilaku anarkis” menjadi kabur. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kerusakan fasilitas umum sering kali dilakukan oleh oknum, bukan keseluruhan massa. Namun publik biasanya menilai secara kolektif: yang terlihat adalah ribuan orang turun ke jalan, dan hasilnya adalah kehancuran. Dari sisi ini, wajar jika masyarakat menganggap demonstran turut bertanggung jawab atas kerugian negara.

Aparat Keamanan Gagal Menjaga Kondusivitas?
Di sisi lain, aparat punya kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban. Namun, penanganan yang salah, baik karena kurangnya koordinasi, keterbatasan personel, atau penggunaan kekerasan berlebihan justru dapat memperburuk keadaan. Dalam banyak peristiwa, tindakan represif aparat memicu kemarahan massa yang awalnya damai. Alhasil, kerusuhan tak terhindarkan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah aparat terlalu keras, atau justru kurang sigap mengantisipasi potensi kericuhan?

Akar Masalah yang Tak Pernah Usai
Demo besar biasanya bukan muncul tanpa sebab. Ada kebijakan yang dianggap merugikan, ada aspirasi yang tidak tersalurkan, atau ada rasa ketidakadilan yang menumpuk. Jika pemerintah responsif sejak awal, barangkali masyarakat tak perlu turun ke jalan. Dengan kata lain, kerusuhan adalah refleksi dari kegagalan komunikasi antara penguasa dan rakyat. Pemerintah pun layak disorot karena dianggap kurang membuka ruang dialog yang sehat.
Berdampak ke Bidang Ekonomi dan Infrastruktur?
Kerusuhan akibat demo bukan hanya soal kerusakan fisik. Ada dampak ekonomi yang lebih luas. Banyak infrastruktur publik rusak seperti halte bus, lampu jalan, taman kota, hingga fasilitas transportasi massal. Kemudian terjadinya gangguan bisnis dimana toko-toko harus tutup, pusat perbelanjaan merugi, dan transportasi logistik terganggu.
Kegiatan investasi juga jadi terhambat karena citra negara yang rawan kerusuhan membuat investor berpikir dua kali. Ironisnya lagi, kerugian ratusan miliar itu akhirnya ditutup dengan APBN atau APBD, yang sumbernya berasal dari pajak masyarakat. Dengan kata lain, kerugian akibat demo bukan hanya soal “siapa yang salah”, tetapi juga “siapa yang menanggung beban”. Dan jawabannya, lagi-lagi, rakyat.
Siapa yang Bisa Digugat Secara Perspektif Hukum?
Secara hukum, ada jalur untuk menuntut pertanggungjawaban. Mulai dari demonstran yang terbukti melakukan perusakan bisa dikenakan pasal pidana. Ataupun dari pihak aparat yang bertindak berlebihan bisa diselidiki oleh lembaga pengawas. Pemerintah bisa digugat jika dianggap lalai menyediakan mekanisme aspirasi yang sehat. Namun, dalam praktiknya, penyelesaian hukum sering tidak seimbang. Demonstran kecil mungkin dihukum, sementara aktor besar atau provokator kerap lolos. Hal ini menambah ketidakpuasan publik dan memperpanjang lingkaran konflik.
Retaknya Kepercayaan Publik Pada Pemerintah
Selain kerugian materi, ada kerugian sosial yang sulit diukur dengan uang, masyarakat umum yang tidak ikut demo merasa dirugikan karena fasilitas mereka rusak. Kepercayaan publik terhadap aparat dan pemerintah makin menurun. Polarisasi sosial semakin tajam, antara kelompok pro-demo dan anti-demo. Kerugian sosial inilah yang sering kali jauh lebih berbahaya, karena menumbuhkan luka kolektif yang sulit dipulihkan.

Jalan Keluar yang Bisa Dilakukan
Alih-alih hanya mencari kambing hitam, lebih bijak jika semua pihak belajar dari kericuhan. Demonstran harus lebih disiplin menjaga aksi tetap damai dan tidak memberi ruang pada provokator. Aparat perlu memperkuat strategi pengamanan berbasis dialog, bukan hanya kekuatan. Pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik yang lebih nyata, agar masyarakat tidak merasa jalanan adalah satu-satunya tempat untuk didengar. Dengan langkah kolektif ini, demonstrasi bisa kembali pada hakikatnya: sarana menyampaikan aspirasi, bukan ajang saling merusak.
Lebih Baik Mencegah Supaya Tidak Terulang Lagi
Fakta bahwa negara rugi ratusan miliar akibat aksi demo yang berujung ricuh adalah tanggung jawab banyak pihak. Menyalahkan satu pihak saja terlalu simplistis, karena kerusuhan adalah hasil dari akumulasi masalah. Entah itu adalah bentuk ketidakpuasan rakyat, penanganan aparat, dan kebijakan pemerintah. Yang lebih penting daripada sekadar mencari siapa yang salah adalah bagaimana mencegah kerusuhan serupa terulang. Karena setiap kali fasilitas publik hancur, yang paling menderita bukan hanya negara, melainkan rakyat yang membiayai semua perbaikan melalui pajak mereka.