Tribun Tren – Kematian tragis mahasiswa Universitas Udayana bernama Timothy Anugerah Saputra (TAS) kini menjadi sorotan publik. Dugaan bunuh diri tidak hanya menjadi tragedi pribadi, tetapi juga berubah menjadi bahan olok‑olokan di media sosial, sebuah penyiksaan psikologis yang memperparah luka keluarga korban. Siapa pelaku di balik hinaan kejam ini?
Kronologi Singkat: Dari Kampus ke Media Sosial
Pada Rabu, 15 Oktober 2025, sekitar pukul 09.00 WITA, TAS dilaporkan melompat dari lantai dua Gedung FISIP Kampus Sudirman, Denpasar. Sebelum itu, ia dikabarkan mengalami tekanan melalui grup chat WhatsApp antar mahasiswa. Tak lama setelah kejadian, tangkapan layar chat hinaan tersebar di media sosial, memicu amarah publik.
Chat tersebut berisi perundungan, termasuk membandingkan TAS dengan konten kreator Kekeyi dalam nada mengejek. Merespon viralnya hinaan ini, pihak kampus merekomendasikan agar mahasiswa pelaku tidak diluluskan dalam semua mata kuliah yang sedang mereka jalani.

Tentang Timothy Anugerah Saputra dan Status Akademik Pelaku
Timothy Anugerah Saputra tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Udayana. Saat tragedi terjadi, usianya diperkirakan 22 tahun. Fakultas FISIP kemudian mengusulkan agar mahasiswa yang terbukti sebagai pelaku dihukum akademik berupa nilai D (tidak lulus) untuk seluruh mata kuliah semester berjalan. Keputusan akhir akan ditetapkan oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) setelah pendalaman kasus.
Penyelidikan kematiannya juga mengacu pada Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, regulasi yang menjadi acuan resmi penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Fakta Utama Kasus Kematian Timothy Anugerah Saputra dan Nama-nama Pelaku
1. Waktu dan Lokasi
Peristiwa berlangsung sekitar pukul 09.00 WITA di Gedung FISIP Unud.
2. Kondisi Korban di Rumah Sakit
TAS sempat sadar saat tiba di rumah sakit, namun kemudian kritis akibat luka parah dan pendarahan internal hingga meninggal.
3. Perubahan Perilaku Sebelumnya
Ibunda korban menyebut bahwa beberapa bulan terakhir terjadi perubahan sikap, meski belum ada tindakan konsultasi psikologis.
4. Saksi Melihat Kondisi Emosional Korban
Seorang saksi melaporkan bahwa korban tampak gelisah dan sempat melepaskan sepatu sebelum melompat.
5. Chat Hinaan yang Viral
Dalam grup WhatsApp, mahasiswa menulis komentar tanpa empati, mengejek tindakan bunuh diri dan membandingkan korban dengan figur publik.
6. Waktu Unggah Pesan
Kampus menyatakan bahwa chat hinaan terjadi setelah kematian, bukan sebelum, namun tetap dianggap pelanggaran etika.

7. Identitas Pelaku Terungkap dan Permintaan Maaf
Enam mahasiswa di FISIP Unud akhirnya mengungkap identitas mereka dan menyampaikan permintaan maaf publik. Nama-nama mereka adalah:
- Leonardo Jonathan Handika Putra (Wakil Ketua BEM FKP)
- Maria Victoria Viyata Mayos (Kepala Departemen Eksternal Himapol FISIP)
- Muhammad Riyadh Alvitto Satriyaji Pratama (Kepala Kajian Strategis Himapol)
- Anak Agung Ngurah Nanda Budiadnyana (Wakil Kepala Departemen Minat dan Bakat Himapol)
- Vito Simanungkalit (Wakil Kepala Departemen Eksternal Himapol)
- Putu Ryan Abel Perdana Tirta (Ketua Komisi II DPM FISIP)
8. Sanksi Akademik
Fakultas merekomendasikan agar nama-nama tersebut diberikan nilai D (tidak lulus) di semua mata kuliah semester berjalan. Keputusan final akan diambil Satgas PPK Unud.
9. Komitmen Rektor Kampus
Rektor Universitas Udayana menegaskan kampus harus jadi ruang aman dan tidak mentolerir bentuk kekerasan apa pun.
10. Reaksi Publik dan Petisi
Warganet ramai menyuarakan dukungan kepada keluarga TAS dan mengecam tindakan hinaan kejam tersebut.
Permendikbudristek 55/2024 sebagai Landasan Resmi
Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 menjadi regulasi kunci penanganan kekerasan di perguruan tinggi, termasuk perundungan psikologis. Regulasi ini mewajibkan kampus membentuk Satgas PPKPT yang bertugas menerima laporan kekerasan, mendampingi korban, menyelidiki, hingga melakukan tindakan pemulihan dan administratif.
Beberapa kampus telah mulai menerapkan regulasi ini melalui sosialisasi, pembentukan satgas, dan pedoman internal. Demi efektivitas, regulasi ini juga diikuti oleh upaya aktivisme dari lembaga lain agar kampus benar-benar aman bagi seluruh sivitas.
Persoalan Sistemik di Dunia Kampus
Kasus TAS beserta hinaan yang menyertainya menjadi refleksi bahwa perundungan di kampus tidak semata soal individu. Ia tumbuh dari tradisi senioritas, tekanan akademik tinggi, dan minimnya edukasi soal kesehatan mental. Tanpa sistem respons cepat, banyak kampus rentan menjadi ladang kekerasan psikologis.
Regulasi dan satgas saja tidak cukup; harus didukung budaya empati, jalur laporan aman, serta sanksi tegas sehingga bullying tak lepas dari pengawasan.

Langkah Pemulihan dan Penegakan Keadilan
1. Penyelidikan Tuntas dan Transparan
Satgas PPK harus mengusut pelaku hinaan di dunia nyata dan digital.
2. Layanan Konseling dan Pendampingan
Baik korban, saksi, maupun mahasiswa lainnya perlu dukungan psikologis.
3. Edukasi Etika Digital
Mahasiswa harus diberi pemahaman bahwa tindakan merundung lewat media sosial adalah kekerasan.
4. Sanksi Multidimensi
Bukan hanya nilai rendah: pelaku juga berpotensi terkena sanksi organisasi dan etika kampus.
5. Evaluasi Budaya Kampus
Kampus perlu merevisi budaya internal agar memperkuat rasa aman, bukan kekerasan.
Bercermin dari Kasus Timothy Anugerah Saputra
Kasus kematian TAS dan hinaan di sekitarnya bukanlah sekadar insiden akademik, ini soal manusia, harga diri, dan tanggung jawab institusi. Sanksi harus diberikan, pelaku dihukum sesuai prosedur, tetapi yang terpenting: martabat korban harus dipulihkan dan sistem kampus diperbaiki agar tragedi serupa tak terulang.
Semoga personal tragedy ini menjadi momentum untuk memperkuat budaya empati, memprioritaskan kesehatan mental mahasiswa, dan menjadikan kampus sebagai tempat aman serta mendukung bagi semua individu.