Tribun Tren – Saham PT GTS Internasional Tbk (GTSI) mencuri perhatian setelah melonjak 34% dalam sehari dan menyentuh batas Auto Rejection Atas (ARA). Harga saham ditutup di Rp138, naik dari posisi sebelumnya di Rp103. Lonjakan ini terjadi dengan volume transaksi yang mengejutkan: 26,44 juta lot, senilai Rp347,4 miliar, angka yang jauh melebihi rata-rata transaksi harian sebelumnya di bawah Rp20 miliar.
Namun, kenaikan mendadak ini memicu satu pertanyaan besar: apakah ini refleksi optimisme pasar, atau justru sinyal kuat adanya campur tangan pemain besar?
Pola Harga Saham GTSI yang Tak Lazim: Pump and Drift?
Dari sisi teknikal, GTSI baru saja menembus area resistensi di kisaran Rp110-120, yang biasanya dianggap sebagai sinyal bullish. Namun jika ditelusuri ke belakang, pola pergerakannya menunjukkan ritme yang tak alami. Dalam dua minggu terakhir, harga saham sempat terperosok ke level Rp90-an, kemudian naik perlahan ke Rp100 dan Rp103, sebelum tiba-tiba melesat ke Rp138 hanya dalam satu hari.
Pola ini sangat mirip dengan fenomena “pump and drift”, di mana harga saham secara perlahan dinaikkan hingga mencapai titik euforia, lalu didorong naik secara agresif. Ini bukan hal baru di bursa, dan biasanya menjadi sinyal awal dari manuver spekulatif yang berisiko tinggi.

Order Book Tak Seimbang, Ada Apa?
Kecurigaan semakin kuat jika melihat order book pada hari kenaikan besar tersebut. Antrean beli (bid) tampak sangat besar, mencapai lebih dari 1,9 juta lot, sementara antrean jual (offer) hanya sekitar 100 ribu lot. Ketimpangan ini membuat saham GTSI terkunci di ARA dan menciptakan kesan permintaan pasar yang luar biasa tinggi.
Namun dalam praktiknya, situasi seperti ini bisa jadi hasil rekayasa. Saat pasokan saham sengaja “ditahan” oleh pihak tertentu, pasar seolah-olah menunjukkan minat beli besar, yang justru memancing panic buying dari investor ritel. Ini tak jarang dimanfaatkan oleh bandar untuk menciptakan reli harga semu.
Transaksi Saham GTSI Meledak, Tapi Tanpa Berita Pendukung
Dalam tiga hari terakhir sebelum ARA, volume transaksi GTSI meningkat drastis dari hanya Rp4,7 miliar menjadi Rp347 miliar. Tak ada pengumuman penting, laporan keuangan, atau aksi korporasi yang bisa menjelaskan lonjakan harga tersebut.
Fenomena seperti ini sangat identik dengan pola pump-and-dump, di mana harga saham dipompa tinggi untuk menarik perhatian publik. Lalu dilepas secara bertahap oleh pihak yang menggerakkan harga. Indikator RSI (Relative Strength Index) saham GTSI diperkirakan telah menembus level overbought (di atas 80), yang artinya saham sudah terlalu panas dan berpotensi koreksi tajam.
Apakah Ada Kekuatan Fundamental?
GTSI sebenarnya bukan perusahaan besar dari sisi kapitalisasi, dan kinerjanya di laporan keuangan pun belum mencerminkan pertumbuhan luar biasa. Tidak ada berita signifikan yang bisa menjelaskan reli ekstrem ini. Jadi, dari kacamata fundamental, kenaikan harga saham ini cenderung tidak memiliki penopang yang kuat.
Dengan likuiditas pasar yang tipis dan volatilitas tinggi, saham GTSI lebih rentan dimainkan oleh spekulan dan trader jangka pendek daripada oleh investor jangka panjang yang mengandalkan nilai intrinsik.

Risiko untuk Investor Jangka Panjang
Bagi investor yang berfokus pada strategi jangka menengah hingga panjang, saham seperti GTSI sebaiknya dihindari. Estimasi nilai wajar saham ini berada di kisaran Rp70-90, jauh di bawah harga pasar saat ini yang sudah menyentuh Rp138. Artinya, saham sudah overvalued hingga 70 persen, dan membuka risiko penurunan tajam.
Jika tekanan jual datang, misalnya karena aksi profit-taking masif, saham ini bisa dengan cepat terpental ke batas Auto Rejection Bawah (ARB) dan terjebak dalam penurunan beruntun.
Terlepas dari Euforia, GTSI Punya Agenda Ekspansi LNG
Meski pergerakan sahamnya sedang ramai dibicarakan, GTSI memang memiliki rencana ekspansi ambisius di sektor energi, khususnya LNG (liquefied natural gas). Perusahaan milik Tommy Soeharto ini menyiapkan investasi jumbo hingga USD508 juta (Rp7,5 triliun) hingga 2026. Ini untuk memperkuat armada kapal pengangkut LNG dan membangun infrastruktur pendukung.
GTSI juga tengah menyelesaikan proyek regasifikasi senilai USD175 juta, yang diproyeksikan beroperasi pada Juni 2026. Proyek ini akan menjadi jembatan antara pasokan LNG dan pengguna akhir, memperkuat distribusi dan efisiensi logistik energi.

Penambahan Armada dan Peluang di Pasar Domestik
Sebagai bagian dari roadmap ekspansi, GTSI dijadwalkan menerima satu kapal LNG baru pada akhir Oktober 2025. Kapal tersebut sebelumnya dikenal sebagai Methane Jane Elizabeth, milik GasLog Partners, dan bernilai sekitar Rp1,2 triliun. Kapal ini akan melengkapi rencana penambahan armada: satu kapal baru pada 2025 dan dua kapal tambahan pada 2026.
Dengan armada seperti Ekaputra 1, yang memiliki kapasitas tangki LNG terbesar di Indonesia, GTSI berambisi menjadi pemain utama di rantai pasok energi bersih di kawasan Asia Tenggara.
Waspadai Euforia, Cermati Risiko Saham GTSI
Lonjakan harga saham GTSI mungkin terlihat menggiurkan, namun kenaikan ini lebih banyak didorong oleh spekulasi pasar dan aksi pemain besar, bukan karena peningkatan nilai perusahaan yang nyata.
Investor sebaiknya tidak terpancing oleh euforia sesaat. Untuk jangka panjang, GTSI memang punya rencana ekspansi yang menarik di sektor LNG. Namun, reli saham saat ini tampak tidak sejalan dengan kekuatan fundamentalnya.
Jika Anda adalah trader berpengalaman dengan strategi jangka pendek dan toleransi risiko tinggi, mungkin ada peluang yang bisa diambil. Namun bagi investor konservatif dan berbasis nilai, saham GTSI lebih baik dijadikan objek pengamatan, bukan tempat untuk parkir modal.