Tribun Tren – Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, kini menjadi sorotan publik. Sorotan datang dua sudut berbeda: penilaian kinerjanya yang sangat negatif dalam survei nasional dan laporan hukum terhadap akun media sosial yang mengangkat meme kontroversial terhadap dirinya. Kedua fenomena ini memperlihatkan betapa tajamnya dua ranah kritik publik, politik formal dan media digital.
Skor Terburuk dalam Survei Kinerja Bahlil Lahadalia
Sebuah lembaga survei nasional merilis hasil evaluasi kinerja satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan dalam daftar menteri, Bahlil Lahadalia ternyatakan menduduki urutan terburuk. Dalam penilaian expert judgment (panel ahli) ia memperoleh skor sekitar ‑151 poin, sedangkan dalam survei publik menunjukkan nilai negatif yang sangat besar. Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi publik dan para ahli melihat kinerjanya kurang memuaskan. Hal ini terutama di sektor energi yang dinilai “ternyata bermasalah, penuh konflik kepentingan, dan minim terobosan”.

Metodologi survei ini melibatkan dua pendekatan: panel ahli (melibatkan ratusan jurnalis dan pengamat kebijakan) dan survei publik (melibatkan lebih dari seribu responden dari berbagai wilayah). Indikator yang digunakan mencakup pencapaian program, relevansi kebijakan dengan kebutuhan publik, tata kelola anggaran, kualitas kepemimpinan, komunikasi publik, dan penegakan hukum.
Hasil tersebut kemudian memunculkan pertanyaan besar: apakah posisi menteri paling bawah dalam survei semacam itu otomatis berarti harus dilakukan reshuffle? Banyak pihak menyebut bahwa penilaian ini menunjukkan potensi evaluasi kabinet. Sementara partai politik yang bersangkutan, Golkar, menolak hasilnya sebagai parsial dan tidak menyeluruh.
Kontroversi Meme Bahlil Lahadalia dan Laporan ke Polisi Siber
Di sisi lain, sayap partai Golkar melalui Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) melaporkan beberapa akun media sosial ke Polda Metro Jaya terkait unggahan meme yang menampilkan Bahlil secara negatif. Laporan disampaikan dalam bentuk bukti awal dan konsultasi dengan tim siber polisi. Tuduhannya adalah pelanggaran Pasal 27 dan Pasal 28 Undang‑Undang ITE, serta Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Dalam pernyataan publiknya, AMPG menyebut konten meme tersebut telah melewati batas kritik politik yang wajar. Mereka menilainya sebagai bentuk penghinaan terhadap pribadi, institusi partai, dan martabat. Beberapa meme yang dilaporkan berisi ungkapan seperti “wudu pakai bensin”, atau “melempar jumrah dengan batu bara”, yang oleh pelapor dianggap jauh melampaui etika debat publik.
Pelapor memberikan waktu bagi pemilik akun yang telah menerima somasi untuk menyampaikan permohonan maaf. Namun, juga menegaskan bahwa jika tidak ada respons, mereka akan melanjutkan proses hukum lebih lanjut. Tujuannya tak hanya menuntut pertanggungjawaban tetapi juga menghadirkan efek jera bagi pihak‑pihak yang mengunggah konten serupa.

Dua Ranah, Satu Nama: Publikitas dan Politik Media
Fenomena yang dialami Bahlil mencerminkan dua bentuk kritik yang kini melekat pada pejabat publik. Kritik datang dari evaluasi kinerja formal, serta dari pengawasan atau serangan melalui media sosial. Kinerja di sektor energi dinilai lemah secara kuantitatif, program yang berjalan lambat, komunikasi publik yang lemah, serta persepsi konflik kepentingan. Sementara di ranah media digital, figur publik mudah menjadi objek meme, sindiran, dan viralitas yang bisa berujung ke ranah hukum.
Bagi partai politik dan pejabat publik, menjaga reputasi kini tidak bisa hanya mengandalkan kerja kebijakan. Komunikasi, transparansi, dan pengelolaan dinamika media sosial juga menjadi bagian penting yang tak terpisahkan.

Implikasi Survei dan Kinerja Bahlil Lahadalia bagi Pemerintahan dan Partai
Bagi pemerintahan, survei dan publikasi kinerja seperti ini bisa menjadi tolok ukur untuk evaluasi kabinet. Bagi partai politik seperti Golkar, posisi ketum yang juga menjadi menteri dengan penilaian terburuk menimbulkan tekanan internal dan eksternal. Sementara bagi masyarakat, laporan meme ke polisi mencerminkan bahwa ruang kritik publik juga tunduk pada aturan hukum. Hal ini memicu perdebatan tentang batas antara kebebasan berekspresi dan pencemaran nama baik.
Kisah Bahlil Lahadalia bukan sekadar tentang menteri yang mendapat rapor buruk atau figur yang menjadi sasaran meme, melainkan tentang bagaimana publik, media, dan institusi saling berinteraksi dalam ranah pemerintahan modern. Penilaian publik yang negatif dan tindakan hukum terhadap kritik sosial adalah dua sisi dari perubahan lanskap politik yang makin terbuka dan cepat.