Tribun Tren – Bau gas air mata masih berasa di udara, sementara bercak-bercak bekas peluru karet memenuhi aspal diikuti dengan gema All Eyes on Bandung. Hal ini terjadi usai aksi represif polisi yang diduga menembakkan gas air mata dan peluru karet ke 2 universitas ternama di Bandung. Tidak sekedar menjadi saksi bisu bentrokan yang terjadi, namun dari peristiwa itulah akhirnya tagar All Eyes On Bandung kini menggema di berbagai penjuru negeri.
Apa yang seharusnya menjadi aksi damai mahasiswa berubah menjadi adegan chaos ketika aparat kepolisian menggunakan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa. Puluhan mahasiswa dilaporkan luka-luka, beberapa pingsan akibat sesak napas, dan ratusan lainnya terpaksa dievakuasi ke lokasi aman.
Kronologi Bentrokan: Dari Suara Orasi ke Suara Tembakan
Menurut keterangan sejumlah saksi mata, aksi ini berawal dari demonstrasi gabungan mahasiswa UNPAS (Universitas Pasundan)dan UNISBA (Universitas Islam Bandung) yang menuntut transparansi anggaran pendidikan dan penolakan kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sekitar pukul 14.30 WIB, ratusan mahasiswa berkumpul di halaman kampus dengan membawa spanduk dan poster.
“Awalnya orasi berjalan damai. Kami hanya ingin suara kami didengar,” ujar Revan (21), mahasiswa UNPAS yang menjadi salah satu koordinator lapangan.
Namun situasi berubah tegang ketika aparat mulai membentuk barikade di depan gerbang kampus. Sekitar pukul 16.00 WIB, massa mencoba melakukan long march menuju Jalan Lengkong Besar. Saat itulah, insiden pertama terjadi. Lemparan botol air dari arah kerumunan membuat polisi memukul mundur massa. Tak lama kemudian, suara tembakan mulai terdengar di kejauhan. Peluru karet ditembakkan ke udara, lalu ke arah mahasiswa. Gas air mata menyusul menghujani kerumunan. Kepanikan pecah.

Kesaksian Mahasiswa: “Kami Tidak Melawan, Tapi Ditembak!”
Di posko darurat yang didirikan di dekat area kampus, sejumlah mahasiswa tampak terbaring lemah. Mata mereka merah, nafas tersengal-sengal. Nadia (20), mahasiswi UNISBA, menceritakan detik-detik ketika aparat menembakkan peluru karet.
“Kami sudah mundur. Kami angkat tangan, tapi gas air mata terus ditembakkan. Ada teman saya kena peluru karet di bahu, dan dia langsung jatuh,” ujarnya dengan suara parau.
Ungkapan senada datang dari Yoga (22), mahasiswa teknik UNPAS, yang menilai tindakan aparat kali ini “di luar batas.”
“Kami mahasiswa, bukan kriminal. Kami hanya ingin bicara, bukan berperang,” katanya dengan mata masih memerah akibat gas air mata.

Aksi Aparat untuk Penegakan Hukum dan Ketertiban?
Pihak kepolisian, melalui Kabid Humas Polda Jawa Barat, AKBP Hendra Wijaya, membantah tuduhan tindakan represif yang berlebihan. “Kami hanya melaksanakan prosedur pengamanan. Ada provokator yang memicu kericuhan, sehingga kami harus mengambil langkah tegas terukur untuk mencegah kerusakan fasilitas umum,” jelasnya. Namun, pernyataan ini memicu perdebatan. Pasalnya, sejumlah rekaman video yang viral di media sosial memperlihatkan polisi menembakkan gas air mata langsung ke arah mahasiswa yang sudah mundur.
Ledakan Tagar All Eyes On Bandung
Sejak malam bentrokan, dunia maya diramaikan dengan tagar #AllEyesOnBandung. Dalam waktu kurang dari 24 jam, tagar ini menjadi trending nomor satu di Twitter (X) dengan lebih dari 2,3 juta cuitan. Gelombang simpati datang dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM, akademisi, dan publik figur. Banyak yang membandingkan peristiwa ini dengan tragedi serupa di masa lalu, seperti Tragedi Semanggi 1998 dan Aksi Reformasi Dikorupsi 2019.
Analisis Represi, Demokrasi, dan Masa Depan Suara Mahasiswa
Jika ditarik garis besar, bentrokan di UNPAS dan UNISBA bukan sekadar soal peluru karet dan gas air mata. Ini tentang ruang demokrasi yang kian menyempit. Mahasiswa historically dikenal sebagai agent of change. Mereka turun ke jalan bukan tanpa alasan, melainkan karena melihat ketidakadilan yang harus disuarakan.
Namun, penggunaan kekuatan yang berlebihan justru menimbulkan pertanyaan. Apakah negara masih mau mendengar warganya? Ataukah suara mahasiswa sengaja dibungkam atas nama stabilitas? Para pakar menilai bahwa langkah represif hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap aparat dan pemerintah. Jika situasi ini dibiarkan, bukan tak mungkin Bandung akan menjadi titik awal gelombang perlawanan baru. Dan itu dimulai dengan gema All Eyes On Bandung sebagai saksi bisu atas pembungkaman suara mahasiswa.
Mata Perih Tapi Suara Tak Akan Padam!
Bandung kini menjadi simbol perlawanan baru. Meski mata perih oleh gas air mata, mahasiswa bersumpah bahwa suara mereka tak akan padam. gema All Eyes On Bandung ini bukan sekadar tagar namun juga menjadi peringatan bahwa generasi muda tidak akan tinggal diam ketika hak-hak mereka dilanggar. Selama negara belum belajar mendengar, selama itu pula gema orasi mahasiswa akan terus mengguncang jalanan. Dan sejarah selalu membuktikan: suara rakyat, sekeras apa pun ditekan, selalu menemukan jalannya.
Baca: “Titik Awal Perjuangan UNISBA(Universitas Islam Bandung) & UNPAS(Universitas Pasundan)“