Tribun Tren – Bjorka, sosok hacker yang sempat membuat heboh publik, akhirnya terungkap sebagai WFT (22), pria asal Kakas Barat, Minahasa, Sulawesi Utara. Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya berhasil menangkapnya setelah mengidentifikasi bahwa WFT adalah pemilik akun media sosial X (dulu Twitter) dengan username @bjorkanesiaa, yang kerap mengunggah data hasil peretasan.
WFT ditangkap pada Selasa (23/9/2025) di Desa Totolan, Minahasa. Penangkapan ini bermula dari laporan salah satu bank swasta pada April 2025. Bank tersebut melaporkan bahwa akun @bjorkanesiaa mengunggah tampilan database berisi 4,9 juta akun nasabah. Tidak berhenti sampai di situ, akun tersebut juga mengirim pesan langsung ke akun resmi bank, mengklaim telah berhasil membobol sistem perbankan mereka.
Dalam konferensi pers, Kasubbid Penmas Polda Metro Jaya, AKBP Reonald Simanjuntak, menjelaskan bahwa WFT bukan sekadar pengguna akun anonim, melainkan orang yang aktif memanfaatkan data hasil peretasan. Penampilannya di hadapan publik dengan baju tahanan oranye menegaskan bahwa penyelidikan sudah masuk ke tahap serius.

Modus Operandi Hacker Bjorka
Hasil pemeriksaan mengungkapkan WFT telah lama berkecimpung di dunia gelap internet atau dark web. Sejak 2020, ia aktif menggunakan identitas “Bjorka,” yang kemudian beberapa kali berganti menjadi “SkyWave,” “Shint Hunter,” hingga “Oposite6890.” Perubahan nama ini diduga dilakukan untuk menyulitkan pelacakan identitas aslinya.
Kasubdit IV Siber Polda Metro Jaya, AKBP Herman Edco Wijaya Simbolon, menyebutkan bahwa pada Februari 2025, akun forum gelap milik WFT menjadi sorotan publik. Tak lama setelah itu, ia mengganti username menjadi “SkyWave” dan mulai memposting contoh akses perbankan yang berhasil ditembusnya. Data tersebut lalu ia unggah melalui akun @bjorkanesiaa dan bahkan dikirimkan langsung ke pihak bank sebagai bentuk ancaman.
Tujuan utamanya jelas: pemerasan. Namun, niat tersebut gagal terlaksana lantaran pihak bank segera melaporkan kasus ini ke polisi sebelum ada transaksi permintaan uang. Meski begitu, polisi mendapati WFT sudah beberapa kali memperjualbelikan data ilegal melalui media sosial seperti Facebook, TikTok, hingga Instagram. Pembayaran atas data yang dijual dilakukan menggunakan aset kripto, memperlihatkan bahwa ia memahami cara memanfaatkan teknologi untuk mengaburkan jejak keuangan.

Jaringan Data Ilegal dan Dampaknya
Pengakuan WFT semakin memperlihatkan luasnya jaringan peretasan yang dijalankan. Ia mengklaim berhasil memperoleh berbagai jenis data, mulai dari data perbankan, perusahaan kesehatan, hingga perusahaan swasta di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada penyimpanan, ia juga mengunggah ulang data ke platform Telegram untuk memperkuat citra seolah dirinya bagian dari jaringan besar jual beli data ilegal.
Hal ini memperkuat dugaan polisi bahwa WFT bukan sekadar hacker amatir, melainkan seseorang yang cukup paham cara mengolah dan mendistribusikan data curian. Praktik semacam ini jelas berbahaya. Kebocoran data pribadi, apalagi dalam skala jutaan nasabah bank, dapat berimbas pada kerugian besar. Identitas bisa disalahgunakan untuk penipuan, pemalsuan dokumen, hingga tindak kriminal lain yang lebih luas.
Wakil Direktur Reserse Siber, AKBP Fian Yunus, menegaskan bahwa pihaknya masih mendalami apakah WFT benar-benar identik dengan sosok Bjorka yang sempat menggegerkan publik Indonesia pada 2022-2023 dengan membocorkan data kependudukan. Menurutnya, di dunia maya, identitas bisa dengan mudah dipalsukan atau diganti. Oleh karena itu, penyidik masih terus memeriksa jejak digital untuk memastikan keterkaitannya.

Jerat Hukum dan Ancaman Hukuman Berat
Atas perbuatannya, hacker Bjorka kini resmi ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu Pasal 46 juncto Pasal 30, Pasal 48 juncto Pasal 32, serta Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35. Kombinasi pasal-pasal tersebut menjerat perbuatan ilegal berupa akses tanpa izin, pencurian data, hingga upaya pemerasan. Ancaman hukuman yang menanti tidak main-main: maksimal 12 tahun penjara. Hukuman berat ini menjadi sinyal tegas dari aparat bahwa praktik peretasan, kebocoran data, dan pemanfaatan informasi ilegal akan ditindak dengan serius.
Kasus WFT sekaligus menjadi pengingat pentingnya keamanan digital, baik untuk institusi keuangan maupun perusahaan lain yang menyimpan data publik. Kebocoran data bukan hanya ancaman teknis, melainkan juga berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat.
Di balik popularitas nama “Bjorka,” kini polisi berusaha mengurai satu demi satu fakta dan jaringan yang mungkin lebih luas. Penangkapan WFT bisa menjadi pintu masuk membongkar kejahatan siber yang selama ini beroperasi di bawah bayang-bayang dark web.