Tribun Tren – Saham emiten perbankan Grup Djarum, Bank Central Asia (BBCA), kembali jadi sorotan usai mencatat penurunan signifikan beberapa hari terakhir. Pada perdagangan Rabu, 8 Oktober 2025, saham BBCA melemah lebih dari 2,6% dan menorehkan level penutupan terendah dalam tiga tahun terakhir. Dalam sebulan terakhir, koreksi sudah mencapai hampir 8%, dan sepanjang tahun 2025, penurunan mencapai lebih dari 20%. Salah satu faktor utama di balik penurunan ini adalah aksi net sell asing yang besar-besaran terhadap saham tersebut, mencapai angka triliunan rupiah.
Di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terus mencetak rekor tertinggi baru (ATH). Meski demikian, BBCA menjadi “penekan” terbesar terhadap kenaikan IHSG, dengan kontribusi negatif yang signifikan terhadap pergerakan indeks. Apa yang sesungguhnya memicu kejatuhan saham ini? Berikut analisis dari beberapa sisi fundamental dan teknikal.
Penurunan Harga Saham BBCA dan Tekanan dari Pasar Asing
Pada 8 Oktober 2025, saham BBCA ditutup di level Rp 7.375 per lembar, turun sekitar 2,64% dari perdagangan sebelumnya. Ini menjadi titik terendah sejak 2022. Dalam sebulan saham ini menyusut sekitar 7,81%, sementara sejak awal tahun (year-to-date/YtD) mengalami koreksi sekitar 23,77%. Bila dilihat dalam horizon tiga tahun, penurunan total sudah melampaui 10%.
Sementara itu, IHSG justru berada dalam tren positif sepanjang 2025, dengan penguatan lebih dari 15%. Namun demikian, pelemahan saham BBCA menjadi drag besar terhadap indeks. Perusahaan ini kini menjadi salah satu kontributor pelemahan terbesar terhadap IHSG sepanjang tahun, fakta yang cukup ironi mengingat BBCA biasanya dianggap sebagai saham blue‑chip yang relatif stabil.
Tekanan utama datang dari aksi investor asing. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2025, asing sudah melepas saham BBCA hingga Rp 31,19 triliun. Angka ini merupakan outflow tertinggi di bursa dan nyaris dua kali lipat dari emiten lain yang paling banyak ditinggalkan modal asing.
Keluar-besarnya dana asing dari BBCA juga dikonfirmasi dalam berbagai laporan pasar modal, di mana saham bank jumbo seperti BBCA dan BMRI menjadi target utama penjualan asing meskipun indeks secara umum menguat.

Laba yang Hanya Tumbuh Single Digit
Pada semester pertama 2025, Bank Central Asia mencatat laba bersih sekitar Rp 29 triliun, naik sekitar 8% secara tahunan (YoY). Meskipun positif, pertumbuhan tersebut relatif tipis jika dibandingkan periode‑periode sebelumnya. Dalam basis kuartal ke kuartal (QoQ), pertumbuhan laba terus melemah, misalnya pada kuartal II/2025, kenaikannya hanya sekitar 6,2% QoQ, mendekati titik pertumbuhan terendah pada akhir 2023 sebesar 3,7% QoQ.
Tren melambatnya laba ini memicu kekhawatiran bahwa momentum bisnis inti BBCA mulai kehilangan kecepatan. Investor cenderung merespons negatif terhadap emiten blue‑chip yang tidak mampu mempertahankan pertumbuhan ganda.
Penyaluran Kredit dan Intermediasi yang Lesu
Fungsi utama bank adalah intermediasi, yaitu menghimpun dana dan menyalurkannya sebagai kredit produktif. Namun tahun ini pertumbuhan kredit BBCA mulai melambat, padahal likuiditas bank masih longgar. Sampai Agustus 2025, kredit yang disalurkan mencapai Rp 921 triliun, tumbuh sekitar 9% YoY, turun dibanding capaian di paruh pertama tahun ini yang sempat menyentuh 13% YoY.
Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) BBCA per Agustus juga menunjukkan kondisi yang masih konservatif di kisaran 79,4%, lebih rendah dari posisi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa bank belum maksimal memanfaatkan dana yang tersedia untuk ekspansi kredit lebih agresif.

Beban Provisi dan Kualitas Aset Bermasalah
Sementara penyaluran kredit melambat, risiko kredit macet (NPL) mulai menunjukkan tren kenaikan. Kredit bermasalah memaksa BBCA meningkatkan beban provisi sebagai langkah antisipasi. Beban provisi ini secara langsung membebani profitability bank.
Di samping itu, OJK mencatat bahwa rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan masih relatif kuat, sehingga BBCA punya buffer terhadap risiko eksternal. Namun, kualitas aset tetap menjadi sorotan karena beban cadangan yang terus meningkat dapat ‘menggerogoti’ laba bila belum diimbangi pendapatan kredit yang kokoh.
Valuasi dan Sentimen Pasar
Di tengah tekanan, sisi valuasi menjadi salah satu “senter harapan” bagi investor. Berdasarkan data publik, rasio-rasio valuasi BBCA menunjukkan bahwa harga saham kini lebih menarik dibanding beberapa waktu lalu:
- P/E ratio: sekitar 15-16 kali
- Forward P/E: sekitar 14-15 kali
- Price to Book Value (PBV): di kisaran 3,4-3,5 kali
- Price to Cashflow / Free Cashflow: berada di antara 18-20 kali
Meskipun masih tergolong premium, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa saham BBCA mungkin sudah berada di zona wajar atau bahkan sedikit undervalued dibanding rata-rata historisnya.
Sentimen teknikal juga mendukung bahwa saham BBCA tengah memasuki fase “oversold”. Dalam periode mingguan hingga bulanan, penurunan harga sudah cukup tajam, membuka peluang rebound jika sentimen membaik. Namun, rebound hanya akan terjadi bila fundamental kembali solid dan aliran dana asing mereda.

Tiga Faktor Kunci Penurunan Saham BBCA
Berdasarkan analisis fundamental dan data pasar, ada tiga faktor utama yang membuat saham BBCA turun:
1. Penyaluran Kredit Melambat
Meskipun bank memiliki likuiditas yang cukup, tetapi ekspansi kredit dilakukan secara hati-hati karena tak mau mengambil risiko tinggi. Pertumbuhan kredit yang turun dari 13% ke level 9% YoY mencerminkan penurunan optimisme pasar.
2. Beban Provisi Meningkat
Naiknya stres kredit memaksa bank untuk mengalokasikan dana cadangan lebih besar. Provisi tambahan ini menekan margin laba dan meredam daya tumbuh profitabilitas.
3. Aksi Jual Asing (Net Sell) Besar-besaran
Pengucuran modal asing ke pasar luar negeri atau sektor lain memicu arus keluar (outflow) signifikan dari saham BBCA. Tekanan jual asing telah menjadi beban dominan terhadap harga saham untuk jangka menengah-panjang.
Potensi Pemulihan dan Prospek Saham BBCA 2026
Meski berada di tekanan berat, BBCA masih memiliki sejumlah angin positif yang bisa mengerek kembali performanya:
- Rasio modal dan likuiditas tetap kuat, dengan CAR berada di level tinggi dan LDR yang relatif aman.
- Penurunan suku bunga BI, yang sudah dilakukan beberapa kali hingga September 2025, dapat merangsang permintaan kredit baru.
- Posisi valuasi yang mulai menarik, memberi potensi pemulihan bila pasar mulai menghargai ulang saham bank besar sebagai safe haven.
- Fokus manajemen ke ekspansi hati-hati, agar risiko kualitas aset tetap terkendali.
Jika BBCA berhasil menahan tekanan fundamental dan pasar asing mereda, saham ini punya kans pulih ke level support dan resistensi historisnya.