Tribun Tren – Fenomena langit, komet raksasa 3I/Atlas, yang diperkirakan berusia lebih dari 7 miliar tahun tengah melintasi tata surya. Keberadaannya memicu perbincangan luas di media sosial, bahkan sempat muncul klaim bahwa komet ini adalah “kapal induk alien” yang mengirim sinyal misterius.
Namun, para ilmuwan dengan tegas membantah spekulasi tersebut dan menegaskan bahwa 3I/Atlas adalah objek antarbintang alami yang sama sekali tidak berbahaya bagi Bumi.
Bantahan BRIN: Bukan Pesawat Alien
Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin, menyebut tidak ada dasar ilmiah yang mendukung klaim bahwa 3I/Atlas adalah pesawat luar angkasa milik makhluk asing.
Astronom tidak berspekulasi di luar hasil observasi ilmiah. Tidak ada alasan untuk menduga komet ini sebagai pesawat alien.
Menurutnya, 3I/Atlas merupakan benda langit purba yang berasal dari luar tata surya. Dalam klasifikasi astronomi, objek seperti ini disebut interstellar object, yakni benda antarbintang yang datang dari luar sistem Matahari dan melintas tanpa kembali.

Asal dan Arti Nama Komet 3I/Atlas
Penamaan 3I/Atlas mengikuti konvensi astronomi internasional.
- Angka 3 menandakan bahwa komet ini adalah objek antarbintang ketiga yang pernah ditemukan, setelah ʻOumuamua (2017) dan Borisov (2019).
- Huruf I berarti interstellar, menandakan asalnya dari luar tata surya.
- Atlas diambil dari nama teleskop yang pertama kali mendeteksinya.
Dari analisis orbit, para astronom memperkirakan usianya mencapai 7 miliar tahun, lebih tua dari tata surya yang berusia sekitar 4,5 miliar tahun. Fakta ini menjadikannya salah satu saksi tertua dari masa awal pembentukan galaksi.
Raksasa Berkecepatan 215.000 Km/Jam
Secara fisik, 3I/Atlas tergolong kolosal. Inti padatnya diperkirakan berdiameter 25.000 kilometer, hampir dua kali ukuran Bumi. Di sekelilingnya, terdapat koma, awan gas dan debu, yang dapat membentang hingga 700.000 kilometer, atau setengah diameter Matahari.
Data dari James Webb Space Telescope (JWST) menunjukkan bahwa koma ini didominasi karbon dioksida (CO₂), delapan kali lebih banyak dibandingkan air. Kelebihan gas ini menyebabkan komet tampak sangat terang ketika mendekati Matahari. Komet ini melaju dengan kecepatan luar biasa, sekitar 215.000 kilometer per jam, menjadikannya salah satu objek tercepat yang pernah terdeteksi manusia.
Orbit Hiperbola: Tamu Sekali Lewat
Berbeda dari komet biasa yang mengelilingi Matahari secara periodik, 3I/Atlas memiliki orbit berbentuk hiperbola. Artinya, komet ini hanya akan melintas satu kali melewati tata surya dan tak akan pernah kembali.
Titik terdekatnya dengan Matahari atau perihelion terjadi pada 30 Oktober 2025, di dalam orbit Mars, sekitar 1,8 AU dari Bumi.
“Lintasannya aman. Jarak minimumnya dari Bumi cukup jauh, jadi tidak ada potensi tabrakan,” tegas Prof. Thomas. Setelah mencapai perihelion, komet akan menjauh menuju orbit Jupiter sebelum akhirnya meninggalkan tata surya pada tahun 2026.

Dapat Diamati dari Indonesia pada Desember 2025
Bagi masyarakat yang ingin menyaksikan momen langka ini, 3I/Atlas diperkirakan bisa terlihat pada Desember 2025. Pada Oktober dan November, posisinya terlalu dekat dengan arah Matahari, sehingga sulit diamati dari Bumi.
“Mulai Desember baru dapat dilihat lagi sebelum akhirnya meredup dan menghilang,” kata Thomas. Observatorium di berbagai negara akan memanfaatkan periode ini untuk memantau evolusi komet secara detail.
NASA Aktifkan Protokol Pertahanan Planet
Kehadiran komet raksasa ini juga menarik perhatian NASA. Lembaga antariksa tersebut sempat mengaktifkan protokol pertahanan planet setelah mendeteksi perubahan kecil pada kecerahan dan arah lintasan komet.
Meski tidak menimbulkan ancaman nyata, langkah ini diambil untuk pelatihan teknis dan koordinasi global. NASA bekerja sama dengan Jaringan Peringatan Asteroid Internasional (IAWN) dan Pusat Planet Minor Harvard untuk memastikan data orbit tetap akurat.
Fenomena unik berupa “anti-ekor”, yakni semburan partikel yang justru mengarah ke Matahari, sempat membuat para astronom kesulitan menghitung lintasan komet dengan tepat. Teleskop Hubble dan JWST berhasil merekam fenomena langka tersebut, menjadi yang pertama kali teramati pada objek antarbintang.
Komet 3I/Atlas Diteliti sebagai Petunjuk Asal Usul Galaksi
Dari hasil pengamatan, diameter inti 3I/Atlas diperkirakan antara 320 meter hingga 5,6 kilometer. Emisi materialnya dapat terdeteksi hingga 450 juta kilometer dari Matahari. Analisis spektroskopi menunjukkan adanya senyawa OH dan karbon dioksida dalam jumlah besar, menandakan aktivitas kimia aktif bahkan sebelum mencapai titik terdekat dengan Matahari.
Para ilmuwan menduga komposisi unik ini menandakan bahwa 3I/Atlas berasal dari sistem bintang di luar galaksi Bima Sakti. Karena itu, banyak pihak menyebutnya sebagai “laboratorium alami” untuk memahami pembentukan materi di alam semesta awal.

Pelajaran dari Tamu Antarbintang Komet 3I/Atlas
Fenomena Komet 3I/Atlas bukan hanya tontonan langit, tetapi juga pengingat pentingnya literasi sains di tengah maraknya informasi keliru di media sosial. “Komet ini bukan tanda bahaya, melainkan pengingat betapa luas dan misteriusnya alam semesta. Setiap tamu antarbintang memberi kita peluang untuk belajar tentang asal-usul kita sendiri,” tutup Prof. Thomas.
Dengan lintasan yang aman dan keindahan yang menakjubkan, 3I/Atlas menjadi simbol betapa kecilnya Bumi di tengah samudra kosmos yang tak bertepi, dan betapa banyak misteri luar angkasa yang masih menunggu untuk diungkap.

