Tribun Tren – Setelah satu tahun menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka dinilai belum mampu memenuhi ekspektasi publik. Harapan besar yang dulu datang dari kalangan muda pun kini mulai memudar. Sosok yang dahulu disebut sebagai simbol regenerasi dan pembaruan dalam dunia politik justru dianggap berjalan di tempat, bahkan kehilangan arah dalam menjalankan peran strategisnya di panggung nasional.
Gibran Terjebak Antara Harapan Regenerasi dan Bayang-Bayang Dinasti
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif SCL Taktika, Iqbal Themi, menyebut Gibran terjebak dalam benturan dua narasi besar yang bertolak belakang. Di satu sisi, ia diharapkan tampil sebagai wajah baru politik anak muda yang progresif dan berani. Namun di sisi lain, publik memandangnya sebagai perpanjangan tangan dari dinasti kekuasaan Presiden Joko Widodo, yang juga ayahnya.

“Gibran seperti berdiri di dua dunia, generasi lama yang masih dominan dan generasi muda yang mulai kehilangan kepercayaan. Hal ini membuat arah politiknya tampak gamang dan tidak memiliki ciri khas,” ujar Iqbal dalam pernyataannya di Jakarta pada 20 Oktober 2025.
Menurut Iqbal, situasi ini berdampak langsung pada ketidakmampuan Gibran membentuk narasi politik yang kuat dan membedakan dirinya sebagai pemimpin muda dengan visi yang jelas.
Wapres Gibran Dinilai Minim Gagasan
Selama setahun menjabat, Gibran dinilai belum memperlihatkan inisiatif kebijakan yang menonjol. Tidak ada program khas yang berhasil mengakar dan menyasar isu-isu strategis yang relevan bagi anak muda. Satu-satunya inisiatif yang sempat disorot adalah program “Lapor Mas Wapres”, sebuah kanal pengaduan publik yang diluncurkan di awal masa jabatannya.
Meski secara konsep terbilang menarik, kanal tersebut dinilai belum efektif menjadi jembatan antara pemerintah dan anak muda. Program ini bahkan sempat memicu ketegangan di Istana karena diluncurkan tanpa koordinasi yang jelas dengan Presiden.
“Gagasan seperti ini seharusnya bisa jadi peluang Gibran untuk lebih dekat dengan publik muda, tetapi implementasinya kurang matang dan terkesan terburu-buru,” kata Iqbal.

Absen dalam Momen Penting Anak Muda
Kritik juga muncul karena Gibran dianggap pasif dalam menyikapi berbagai dinamika sosial yang melibatkan anak muda. Beberapa gerakan seperti #IndonesiaGelap, #KaburAjaDulu, serta protes mahasiswa terhadap DPR tak direspons secara signifikan oleh sang wakil presiden. Padahal, publik menantikan kehadiran sosok muda di lingkar kekuasaan yang bisa menerjemahkan aspirasi generasi Z dan milenial menjadi kebijakan atau paling tidak suara yang terdengar di tingkat nasional.
“Pada saat isu-isu besar muncul dan anak muda bersuara, mereka berharap Gibran tampil membela atau paling tidak menunjukkan empati. Tapi sejauh ini, itu belum terlihat,” tambah Iqbal.
Peran Gibran Sebagai Wakil Presiden: Antara Simbolik dan Nyata
Secara konstitusi, posisi wakil presiden memang bersifat lebih pendamping dan tidak memiliki kewenangan utama kecuali ditugaskan oleh presiden. Namun dalam praktiknya, posisi ini bisa sangat strategis bila digunakan secara aktif. Sayangnya, Gibran sebagai wakil presiden lebih sering terlihat menjalankan kunjungan ke daerah, menjalankan instruksi untuk memantau pelaksanaan program pemerintah, tanpa dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis, seperti perombakan kabinet atau respons terhadap krisis.
Menurut informasi dari beberapa sumber internal pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto memang belum memberikan ruang yang cukup bagi Gibran untuk berperan dalam kebijakan tingkat tinggi. Hal ini bisa dimaklumi secara struktural, tetapi tetap menyisakan pertanyaan publik: apa peran substantif Gibran di tengah berbagai tantangan bangsa?

Masih Ada Waktu untuk Berbenah
Meski dinilai belum menunjukkan kinerja signifikan, Iqbal menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Gibran telah gagal menjalankan peran politiknya. “Belum berhasil, tapi juga belum gagal. Masih ada empat tahun ke depan untuk membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar pewaris nama besar, tapi pemimpin muda yang mampu membawa perubahan,” ujarnya.
Iqbal juga menekankan bahwa politik anak muda bukan sekadar soal usia. Namun, keberanian membawa gagasan baru, bersuara untuk yang tidak terdengar, dan menghadirkan solusi atas kegelisahan masyarakat.
Anak muda ingin melihat pemimpin yang bisa berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Bukan hanya hadir sebagai simbol kekuasaan, tetapi sebagai agen perubahan yang konkret
Gibran Rakabuming Raka masih memiliki jalan panjang dalam karier politiknya. Namun setahun pertama ini menjadi indikator awal bahwa tantangan menjadi pemimpin muda di level puncak tidak hanya soal usia dan citra, tetapi keberanian mengambil posisi, menyuarakan kebenaran, dan merumuskan arah yang berpihak pada rakyat, khususnya generasi muda yang dulu menaruh harapan besar padanya.